Tulisan ini berawal dari pengamatan penulis terhadap seorang
pemilik Toko Kelontong di sekitar kampus Universitas Diponegoro (UNDIP)
Tembalang. Ketika UNDIP belum seperti sekarang ini ramainya, toko kelontong
tersebut cukup dikenal di daerah tersebut serta berkembang dengan baik. Namun
ketika seluruhnya program S1 UNDIP pindah
ke daerah Tembalang, maka daerah tersebut otomatis berkembang dengan pesat.
Keadaan tersebut secara otomatis mendorong hadirnya minimarket baru (seperti ,
Indomaret, Alfamart) yang cukup banyak di daerah tersebut. Akhirnya toko kelontong
tersebutpun dikepung oleh 4 minimarket (2 Indomaret dan 2 Alfamart) yang
masing-masing 2 minimarket berlokasi dibelakang toko kelontong tersebut, dan 2
minimarket di depan toko kelontong tersebut yang masing-masing berjarak 50
meter hingga 200 meter dari toko
kelontong tersebut. Apakah toko
kelontong tersebut mengalami kehancuran dan kebangkrutan ? Jawabannya ternyata
tidak. Jika melihat pengalaman sebelumnya dari berbagai toko kelontong , banyak
toko kelontong mengalami kehancuran dan kebangkrutan jika minimarket seperti
Indomaret, Alfamart, Alfamidi sudah berkembang di dekat mereka. Hal ini karena minimarket menawarkan barang dengan harga
yang umumnya lebih murah di bandingkan
dengan barang yang sama di toko kelontong. Selain itu, minimarket menyediakan tempat
yang nyaman, wangi, bersih, dan ber ac yang menjadi daya tarik tersendiri bagi
konsumen untuk berbelanja di minimarket tersebut dibandingkan dengan di toko
kelontong. Namun, toko kelontong ini tetap bertahan dan bahkan toko kelontong
tersebut berkembang dengan pesat . Dengan penuh keheranan dan kekaguman karena
“ketahanan” toko kelontong tersebut menghadapi gempuran dari minimarket
tersebut, penulispun memberanikan diri bertanya kepada pemilik toko kelontong
tersebut. Ada beberapa hal yang bisa penulis simpulkan dari hasil pembicaraan
tersebut : 1.
Sering
Mengunjungi Minimarket Pemilik
toko kelontong ini rajin berkunjung ke salah satu dari keempat minimarket
tersebut secara bergantian untuk membeli beberapa jenis produk di minimarket
tersebut dan selanjutnya pemilik toko kelontoong tersebut membandingkan harga
produk tersebut dengan harga produk yang sama di toko kelontong miliknya. Selain
itu, si pemilik toko kelontong juga mengamati produk-produk yang tidak dijual dan
yang dijual di minimarket tersebut serta bentuk-bentuk promosi apa saja yang
dilakukan di minimarket tersebut. Aktivitas yang dilakukan oleh pemilik toko kelontong ini di dalam pemasaran (marketing) sering disebut dengan marketing intellegence. Menurut Huster (2005) , marketing
intellegence adalah "kemampuan untuk memahami,
menganalisis, dan menilai lingkungan internal dan eksternal yang terkait dengan
pelanggan, pesaing, pasar, industri dan menggunakan pengetahuan yang diperoleh
untuk perencanaan strategis jangka panjang dan pendek dengan tujuan akhir
meningkatkan respons pemasaran". Dari kegiatan marketing intellegence tersebut pemilik
toko kelontong melakukan aktivitas-aktivitas sebagai berikut : a.
Menerapkan
strategi fokus khususnya kepada produk-produk di toko kelontongnya yang memiliki
harga lebih murah dibandingkan dengan harga produk yang sama di minimarket
tersebut. Harga lebih murah dibandingkan pesaing merupakan kekuatan toko
kelontong ini yang menjadi fokus untuk dimaksimalkan penjualannya oleh pemilik
toko kelontong tersebut. Misalnya, harga air minum botol kemasan
(aqua,pelangi,ades,dll), berbagai macam jenis rokok.plastik, termos tempat
minum, dll yang harganya lebih murah di toko kelontong miliknya dibandingkan
dengan harga di minimarket dimaksimalkan penjualannya. b.
Penataan
produk yang lebih menarik. Produk-produk
yang harganya lebih murah dibandingkan dengan produk yang sama di minimarket
diletakkan diposisi depan. Jadi semua produk yang lebih murah dibandingkan
produk yang sama di minimarket di letakkan di depan dengan penataan yang
menarik sehingga memudahkan konsumen melihat produk tersebut untuk mengundang
konsumen ingin mengetahuinya c. Menyediakan serta menjual produk-produk yang tidak tersedia
dan dijual di minimarket tersebut, namun
produk tersebut dibutuhkan oleh konsumen, misalnya menjual ember, gayung mandi,
sapu,cangkir,mangkuk, dll yang mana produk-produk tersebut tidak dijual di minimarket
tersebut. Ketiga
cara atau strategi di atas di dalam pemasaran (marketing) sering disebut dengan market orientation . Menurut Narver dan Slater
(1990), orientasi pasar (market
orientation) terdiri dari tiga subkomponen: orientasi pelanggan (customer orientation) dengan memahami
kebutuhan dan keinginan pelanggan, orientasi pesaing (competitor orientation) dengan memahami kekuatan dan kelemahan
pesaing dan bagaimana mereka memuaskan kebutuhan dan keinginan pelanggan, dan koordinasi interfungsional dengan penggunaan
sumber daya organisasi secara luas oleh perusahaan dalam menciptakan nilai
pelanggan yang unggul. Menurut
Day (1994:43), elemen-elemen ini secara kolektif mendukung nilai kecerdasan
pasar (market intellegence) yang
secara fungsional diarahkan untuk memperoleh keunggulan kompetitif.. 2.
Meminta
karyawannya mempromosikan produk yang ada di toko kelontong tersebut. Promosi
dilakukan dengan berbagai cara : a.
Menyebar
leaflet dan brosur ke mahasiswa dan tempat kost mahasiswa, dimana promosi
seperti ini merupakan cara yang lazim dilakukan oleh setiap usaha termasuk mini
market. b.
Menyampaikan
secara lisan kepada konsumen yang berbelanja di toko kelontong tersebut tentang
produk-produk yang harganya lebih murah dibandingakn jika konsumen membelinya
di tempat lain seperti di minimarket
tersebut. Pemilik toko kelontong berkeyakinan, konsumen akan menyampaikan juga kepada
teman-temannya, keluarganya, dan komunitasnya tentang keberadaan produk yang
ada di toko kelontong miliknya khususnya produk-produk yang harganya lebih
murah dibandingkan harga produk yang sama di minimarket. Dalam pemasaran (marketing) promosi seperti ini disebut
dengan bahasa mulut (Word of Mouth - WOM)
. Dalam istilah yang umum dipakai dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah
“getok tular” atau “ diomong-omongke”, dan dalam istilah candaan kami di marketing sering disebut dengan istilah
“bergosip” . Dengan sederhana Word-of-mouth (WOM) didefinisikan sebagai berbagi informasi tentang
suatu produk antara konsumen dan teman atau kolega atau kenalannya. Word-of-mouth (WOM) dapat
mempengaruhi pandangan orang lain ,
pemikiran dan keputusan mereka. Jika kekuatan dari Word-of-mouth
(WOM) dimanfaatkan dengan benar, itu
bisa memasarkan produk/jasa apa saja dalam
jangka waktu yang lama. Ia memiliki
kekuatan untuk menciptakan citra yang kuat dalam pikiran individu. Bersamaan dengan ini, konsumen akan jauh
lebih percaya dan menerima dukungan suatu produk dari seseorang yang dianggap
tidak mendapatkan apa-apa dari menawarkan dukungan, daripada dari seseorang
yang melakukannya..
Mungkin pemilik toko kelontong tersebut tidak pernah
belajar ilmu pemasaran dan kewirausahaan. Dia hanya membuka usaha untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dan keluarganya tanpa pernah mempertimbangkan jika suatu saat dia
harus mengalami persaingan yang cukup tajam dan keras atau bahkan terdampak
pandemi covid 19. Namun tanpa disadarinya , pemilik toko kelontong tersebut telah
menerapkan konsep dan strategi pemasaran dan kewirausahaan yaitu dengan segala
keberanian dan tekad yang pantang menyerah,terus belajar, inovasi (inovatiiveness), proaktif (proactiveness), mengambil resiko (risk taking), agresif
berkompetisi (competitive aggresiveness)
, dan otonomi (autonomy).pemilik
toko kelontong tersebut mampu membawa usahanya berkompetisi dengan minimarket yang didukung oleh manajemen
modern yang pada akhirnya toko kelontong miliknya pun dapat berkembang dengan
pesat. . Bagaimana dengan kita ?? Tentu kita yang sudah mempelajari dan membekali
diri dengan ilmu pemasaran (marketing)
dan kewirausahaan (entrepreneurship) diharapkan
lebih baik dari pemilik toko kelontong di atas. |