Pertumbuhan bisnis di era industri 4.0 semakin luas dan merebak ke setiap pemikiran individu-individu. Tak hanya di Negara Indonesia saja melainkan di seluruh dunia. Hal ini yang menjadi penyebab masyarakat mulai membangun kesadaran diri untuk memiliki sebuah bisnis sampingan yang bisa dikerjakan kapanpun sesuai keinginan para pelaku bisnis. 20 hingga 30 tahun yang lalu, hal ini dianggap sebagai lelucon bahkan sesuatu yang tidak pantas untuk menjadi bahan perbincangan bagi khayalak umum, karena sudah jelas menunjukkan moralitas yang bertentangan dengan hasil. Dogma kala itu bahwa hanya dengan bekerja keras dan tekun serta dengan jam kerja yang telah ditentukan mampu membawa kita pada puncak karier atau perpindahan strata sosial. Hal itu bisa tercapai dengan bekerja pada suatu perusahaan yang sesuai dengan bidang pendidikan setiap angkatan kerja. Tak heran jika banyak persaingan yang timbul antar kalangan angkatan kerja demi mendapatkan sebuah posisi. Apapun posisinya yang terpenting dan utama adalah diterima terlebih dahulu pada perusahaan tersebut.

Namun, sejak tahun 2000-an awal, teknologi informasi mulai berkembang pesat secara keseluruhan dan dalam tempo yang singkat. Ya, kurang dari 10 tahun, teknologi informasi telah membawa dampak perubahan fundamental dan revolusioner pada dunia industri. Kemudian secara bertahap membawa perubahan juga pada dunia bisnis. Sekarang, kuku-kuku digitalisasi sudah menancap pada kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya wiraswasta.

COVID-19 menjadi penyebab kelesuan pasar

Namun, sejak kehadiran COVID-19 di Wuhan, Tiongkok menyebabkan kepanikan masal pada Negeri Tirai Bambu tersebut. Sehingga Partai Komunis Tiongkok melalui Presiden Xi Jinping menyatakan bahwa Negeri panda itu akan menutup diri dalam beberapa bulan ke depan. Tentu hal ini yang menjadi penyebab efek berantai pada ikatan global supply chain, pasalnya Tiongkok merupakan negara industri dan perdagangan terbesar di dunia. Sehingga keputusan kecil Tiongkok tersebut, bisa menyebabkan demam pada wilayah Eropa, sehingga hal ini benar-benar urgen. Harga-harga barang seluruh dunia naik secara drastis, banyak kepanikan pada pasar saham dan pasar valuta asing. Dunia mengalami kelesuan, bahkan impor ekspor sempat terhenti pada beberapa negara di seluruh dunia.

Namun anomali terjadi karena dengan harga-harga yang melonjak akibat dari kepanikan global. Hal ini lantas menyebabkan masyarakat yang masih memiliki optimisme mulai mencari solusi alternatif untuk menunjang keberlangsungan hidup usaha. Pemerintah Indonesia mengikuti Amerika dan Uni Eropa untuk mempromosikan gaya hidup WFH (Work From Home) dan menetapkan batas kunjungan ke suatu tempat sebesar 25%. Hal ini membuat pemilik bisnis mulai mencari cara agar tetap mendapatkan omzet yang sama bahkan lebih tinggi namun dengan tetap mengikuti peraturan yang ada. Tujuannya agar mereka tidak dianggap sebagai pembangkang karena melanggar aturan.

Maka, kemudian hadirlah beberapa perusahaan e-commerce, seperti Amazon, Ebay, Shopee, Lazada dan lain sebagainya. Perusahaan tersebut sudah lama bergerak dalam dunia perdagangan, namun baru mencapai masa kejayaannya setelah COVID-19 melanda. Shingga memaksa manusia mulai mengalihkan aktivitasnya pada dunia virtual atau online.

Para pemilik bisnis yang mengalami kelesuan usaha mulai melirik perusahaan-perusahaan tersebut sebagai alternative. Apalagi dengan hadirnya Gojek, Uber, Grab dan sederet perusahaan jasa mobilitas manusia dan barang mulai berlomba-lomba membangun sistem operasi untuk melayani pesan antar.

Para pelaku bisnis beralih ke dunia digital

Pada awalnya hal ini dianggap remeh oleh kalangan pebisnis konservatif. Namun setelah beberapa bulan, ternyata penjualan toko online yang mendaftarkan diri sebagai asosiasi dari perusahaan tersebut meningkat pesat. Arus pengiriman barang oleh penyedia layanan pengiriman paket lewat gawai melonjak drastis. Hal ini membuat beberapa pengamat ekonomi menyarankan untuk memangkas cost production yang tidak perlu harus segera tersingkirkan. Mereka menyarankan pada pelaku bisnis cepat mengalihkan bisnisnya ke dunia digital, membuat industri paling konservatif sekalipun seperti perbankan mulai mengikuti langkah ini. Pada awalnya memang terlihat setengah hati dalam membangun layanan digital, namun setelah sebuah bank digital muncul yaitu Bank Jago. Membuat para pemimpin pasar dunia perbankan mulai resah karena ada anak baru yang terang-terangan menantang untuk berduel dalam industri yang telah mereka kuasai puluhan tahun.

Untuk industri yang belum sepenuhnya beralih ke digitalisasi adalah industri shipping line seperti Maersk dan industri pertambangan. Karena banyak hal yang memang hanya bisa dikerjakan oleh tenaga manusia dalam mengerjakan bisnis tersebut.

Namun untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) senang dengan hal ini. Pasalnya tidak perlu lagi mendaftarkan izin usaha yang ribet dan memakan waktu. Namun hanya dengan beberapa kali klik saja sudah bisa membuka usaha dengan cara menjadi seorang asosiasi pada perusahaan e-commerce. Hal ini tentu mendorong peningkatan produktivitas masyarakat Indonesia terutama menambah pundi-pundi pemasukan dengan memiliki usaha sampingan. Bahkan satu orang bisa menjadi asosiasi pada 20 perusahaan lebih yang 20 tahun lalu dianggap mustahil.

Maka dari itu, perkembangan bisnis dalam industri 4.0 atau biasa terkenal dengan sebutan era digitalisasi sudah membuktikan bahwa suatu masalah global ternyata malah mempercepat peningkatan kualitas hidup masyarakat dunia. Khususnya dalam hal perekonomian. Maka dari itu peluang yang besar tentu memiliki potensi persaingan yang besar pula. Tinggal bagaimana anda berupaya mencapai kebahagiaan dan mengamankan masa depan.

 Copyright stekom.ac.id 2018 All Right Reserved