Suharno, et al (2020) menyatakan bahwa saat ini terdapat kesenjangan antara tingkat kematangan lulusan dan tuntutan pekerjaan. Situasi ini juga terjadi di Prancis tentang ketidaksesuaian lulusan kejuruan (Béduwéa & Giret, 2011). Jumlah lulusan bisa mencapai hampir 100 persen, akan tetapi kompetensi mereka seringkali tidak sesuai dengan tuntutan pekerjaan yang ada. Hal tersebut terjadi bukan semata-mata disebabkan oleh materi ajar yang disampaikan, tetapi juga dipengaruhi oleh bagaimana guru melakukan proses pembelajaran guna mengasah keterampilan dan sikap kerja peserta didik. Bagaimana sekolah menyediakan perangkat berat maupun lunak sebagai pendukung untuk melatih hard skills maupun soft skills.  Pembelajaran berbasis pekerjaan/proyek masih belum dapat diterapkan dalam kenyataan. Padahal, sebenarnya metode tersebut cocok untuk kejuruan pembelajaran (Heaviside, Manley, & Hudson, 2018).

Ofsted (The Office for Standards in Education, Children’s Services and Skills), badan pemerintah Inggris yang memiliki kewenangan mengatur dan memberikan layanan pendidikan, dalam laporan tahunannya di tahun 2011, menyampaikan beberapa faktor yang menyebabkan kurang efektifnya suatu kegiatan pembelajaran, diantaranya:

1. Guru menghabiskan terlalu banyak waktu untuk ceramah.

2. Konten pembelajaran kurang imajinatif

3. Sikap bertanya kurang terbentuk di kelas sehingga siswa tidak terbiasa untuk berpikir secara mendalam dan kritis

4. Proses pembelajaran kurang menarik sehingga siswa tidak termotivasi untuk belajar.

Keempat faktor di atas berkaitan erat dengan pembelajaran otentik karena partisipasi siswa, keterkaitan dengan dunia nyata, serta sikap berpikir kritis memegang peranan penting dalam mewujudkan otentisitas dalam kegiatan pembelajaran. Banyak asumsi yang berkembang bahwa pembelajaran hanya dinilai otentik jika siswa belajar menggunakan alat peraga atau melakukan praktek secara langsung melalui kunjungan lapangan. Akan tetapi, mengambil konteks pendidikan vokasi di Inggris sebagai contoh, pembelajaran yang direncanakan secara terstruktur tanpa melupakan pentingnya mengembangkan sikap berpikir kritis siswa juga harus menjadi prioritas utama pembelajaran. Di samping itu, penggunaan media pembelajaran yang menunjang proses pembelajaran dan mening-katkan minat belajar siswa juga perlu diperhatikan. Nyatanya, masih banyak guru di Indonesia yang menjadikan ceramah sebagai pendekatan utama dalam menyampaikan materi pembelajaran. Siswa kurang men-dapatkan bimbingan untuk berdiskusi dan memecahkan masalah melalui tukar pendapat. Sementara itu, di level kebijakan, kerja sama dengan lembaga non-pemerintah untuk menjaga relevansi pendidikan vokasi dengan kebutuhan lapangan kerja mutlak diperlukan. Beberapa poin ini hendaknya dapat menjadi pertimbangan untuk mengembangkan pendidikan vokasi di Indonesia.

Memang, sebagian besar sekolah belum tanggap terhadap industri yang telah berubah cepat dan berkembang dari waktu ke waktu. Sudah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengembangkan pendidikan vokasi yaitu melalui pembangungan Sekolah Menengah Kejuruan, pembelajaran berbasis link and match, program guru keahlian ganda, dan keterlibatan industry. Namun tampaknya proses pembelajaran pada peserta didik masih perlu terus ditingkatkan.

Jika proses belajar mengajar pada pendidikan vokasi dapat berjalan dengan baik, Ada yang bisa didapatkan manfaatnya.

Pertama, kesempatan bekerja yang lebih luas

Keuntungan yang bisa Anda dapatkan saat masuk sekolah vokasi adalah ketersediaan lapangan kerja yang lebih luas. Seorang sarjana terapan atau diploma memiliki kesempatan diterima bekerja lebih tinggi. Keahlian yang dimiliki benar-benar spesifik dan sesuai dengan kebutuhan perusahaan atau instansi tertentu.

Menganggur setelah lulus jarang terjadi sebab keahlian Anda bisa memberikan profesi yang sesuai impian. Bahkan Anda bisa langsung bekerja setelah lulus kuliah dari program vokasi ini. Menarik, bukan? Tak jarang institusi atau sekolah vokasi yang bekerja sama dengan banyak perusahaan dalam mencari bibit unggul yang memiliki spesifikasi sesuai kebutuhan.

Kedua, mendapatkan keahlian dan pengalaman dalam waktu singkat

Alasan seseorang lebih suka masuk ke pendidikan vokasi karena memiliki keahlian dan pengalaman dalam waktu lebih singkat. Sekolah vokasi menawarkan program pendidikan yang lebih singkat daripada program sarjana. Jika Anda butuh waktu 4 tahun untuk meraih gelar sarjana, maka Anda hanya perlu waktu 3 tahun saja untuk mendapatkan gelar diploma atau ahli madya untuk lulusan D3.

Setidaknya Anda bisa menghemat waktu, tenaga dan biaya kuliah lebih banyak. Anda juga punya waktu yang lebih cepat untuk terjun langsung ke dunia kerja. Saat calon sarjana tengah sibuk skripsi, Anda sudah bisa menghasilkan uang sendiri dengan bergabung menjadi anggota divisi sebuah perusahaan atau instansi tertentu. Kuliah yang lebih cepat dengan hasil yang maksimal, siapa yang menolak peluang menarik ini?

 Copyright stekom.ac.id 2018 All Right Reserved